Friday, November 4, 2011

Essay Mengenai Perilaku Beragama, Kekerasan Beragama, dan Perdamaian Agama

 Source (https://www.eventbrite.com)

Menurut Koentjaraningrat, agama atau yang lebih netral beliau sebut sebagai religi (karena istilah ‘agama’ menurut beliau lebih khusus menunjuk kepada agama-agama yang diakui oleh pemerintah RI dipertentangkan dengan istilah ‘religi’ yang dapat mengacu kepada semua sistem keagamaan secara luas) seperti yang dijelaskan oleh E. Durkheim dalam bukunya Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse, religi merupakan gejala kebudayaan yang digetarkan oleh Emosi Keagamaan.

Emosi Keagamaan merupakan proses psikologis dan fisiologis yang terjadi ketika manusia merasakan “bertemu dengan Yang Suci” (meminjam istilah R. Otto, F. Heiler, G. Mensching). Sependapat dengan E. Durkheim mengenai empat komponen religi, Hans Kung menyebutkan bahwa religi merupakan sebuah lived life atau kehidupan yang dijalani sehingga religi bukan sekedar persoalan teoritis, sekedar persoalan masa lalu dan persoalan para peneliti arsip teks-teks suci sehingga, apa yang digambarkan oleh Koentjaraningrat mengenai interaksi dinamis antara keempat komponen suatu sistem religi merupakan religi yang dialami oleh setiap orang sebagai sesuatu yang kontemporer, berdenyut disetiap nadi eksistensi mereka sehari-hari. 


Lebih jauh Hans Kung menjelaskan bahwa religi adalah cara percaya, pendekatan terhadap kehidupan, dan sebuah cara hidup sehingga, religi berfungsi sebagai pola dasar yang merangkul individu, masyarakat atau manusia dan dunia sekaligus. Melalui pola dasar inilah, setiap individu melihat dan mengalami, berpikir dan merasakan, bertindak dan menderita, segala sesuatu. Secara lebih sederhana Hans Kung menyimpulkan pula bahwa religi menyediakan sebuah makna menyeluruh terhadap kehidupan, menjamin nilai-nilai mulia, dan norma-norma tanpa syarat, menciptakan sebuah komunitas dan pesanggrahan spiritual (bandingkan kesejajarannya dengan uraian Koentjaraningrat). [Kung:14]




Adapun Koentjaraningrat menyebutkan bahwa sejauh yang beliau ketahui belum ada ahli yang membuat suatu analisa atau deskripsi apa yang terjadi ketika manusia ‘bertemu dengan Yang Suci’ namun Andrew Newberg dan Mark R. Waldman dalam buku mereka How God Changes Your Brain, Breakthrough Findings from a Leading Neuroscientist (2009) menjelaskan peran bagian-bagian otak yang membentuk persepsi manusia akan yang Ilahi. Secara singkat akan diuraikan pendapat Newberg dan Mark seperti yang dikutip dari tulisan Ioanes Rakhmat berikut,

1. Sirkuit occipital-parietal

Sirkuit ini, yang terdapat di bagian belakang otak, mengidentifikasi Allah sebagai suatu objek yang ada di dalam dunia. Sirkuit ini memberikan kemampuan untuk membayangkan Allah secara antropomorfis (=dalam wujud manusia). Anak-anak kecil memandang Allah sebagai sebuah wajah karena otak mereka belum dapat memproses konsep-konsep spiritual yang abstrak. Parietal lobe—bagian otak yang memproses pertanyaan tentang “apa” dan “di mana”— pada kanak-kanak sangat aktif jika mereka sedang memikirkan kodrat Allah. Dalam masa beberapa tahun permulaan kehidupan, kita umumnya membentuk paham kita sendiri yang serupa mengenai realitas spiritual, misalnya bahwa pada masa kita kanak-kanak, Allah kita bayangkan sebagai seorang tua berjenggot yang berdiam di angkasa, di suatu kawasan yang dapat dilihat.

2. Sirkuit Parietal-frontal

Sirkuit ini membangun sebuah hubungan di antara dua objek yang dikenal sebagai “anda” dan “Allah.” Sirkuit ini menempatkan Allah dalam ruang dan memungkinkan anda mengalami kehadiran Allah. Jika anda mengurangi aktivitas di dalam parietal lobe melalui meditasi atau melalui doa yang khusuk, batas-batas antara anda dan Allah lenyap, dan anda merasakan suatu pengalaman mistikal telah menyatu dengan Allah, memasuki suatu suasana yang tidak dibatasi ruang dan waktu lagi. Anda merasakan suatu kesatuan dengan objek kontemplasi dan dengan kepercayaan-kepercayaan spiritual anda.

3. Frontal lobe(s)

Frontal lobe menjadikan kita manusia yang unik. Di bagian korteks neuron inilah berakar imajinasi, kreativitas, orisinalitas dan kemampuan bernalar dan berkomunikasi dengan orang lain, dan kemampuan untuk menjadi lebih damai, lebih berbelarasa, dan lebih termotivasi. Bagian ini memungkinkan kita untuk membuat sebuah konsep logis mengenai suatu Allah yang rasional, bijaksana dan pengasih. Jika aktivitas frontal lobe meningkat, sementara aktivitas sistim limbik menurun, maka orang akan merasakan kedamaian dan ketenteraman.

Bagian ini menciptakan dan mengintegrasikan semua gagasan anda tentang Allah—gagasan yang positif atau gagasan yang negatif—termasuk logika yang anda gunakan untuk mengevaluasi kepercayaan-kepercayaan spiritual dan keagamaan anda. Bagian ini memprediksi masa depan anda dalam hubungan anda dengan Allah dan berupaya secara intelektual untuk menjawab semua pertanyaan “mengapa, apa, dan di mana” yang muncul di bidang-bidang spiritual.

Orang yang memiliki frontal lobe yang sangat aktif dapat terbenam ke dalam usaha membuktikan keberadaan Allah secara filosofis dan matematis. Berbeda dari sirkuit occipital-parietal otak kanak-kanak, frontal lobe orang dewasa yang sudah matang bertanggungjawab menimbulkan imajinasi, kreativitas dan orisinalitas yang digunakan orang dewasa ketika mereka mencoba menggambarkan sifat-sifat abstrak non-bendawi dan misterius [seperti] Allah.

4. Thalamus

Pada bagian inilah otak kita memberi kita kemampuan untuk merasakan sesuatu yang kita sedang pikirkan sebagai sebuah kenyataan, seolah gagasan-gagasan kita adalah suatu objek yang nyata di dalam dunia ini. Semakin anda memikirkan suatu gagasan berulang kali dan dengan sangat serius, maka thalamus memberi respons berupa sebuah impresi dalam diri anda bahwa gagasan ini adalah suatu objek nyata. Di dalam thalamus inilah makna emosional diberikan kepada pikiran-pikiran kita yang muncul di dalam frontal lobe, sehingga kita tidak ingin dipisahkan dari pikiran-pikiran kita. Sehubungan dengan agama, thalamus memberi suatu makna emosional pada konsep-konsep anda tentang Allah: organ inilah yang membuat anda mencintai Allah anda (atau sebuah gagasan anda tentang Allah) dan tidak ingin dipisahkan darinya. Thalamus memberi anda suatu makna menyeluruh mengenai dunia ini dan tampaknya merupakan suatu organ kunci yang membuat Allah terasa objektif dan nyata.

Jika thalamus terus diaktifkan melalui meditasi (yang di dalamnya kita sungguh-sungguh memikirkan gagasan-gagasan kita sebagai kenyataan riil dalam dunia objektif), maka kita akan memandang kenyataan secara berbeda dari pandangan yang normal dan biasa. Jika seorang praktisi meditasi tingkat tinggi sungguh-sungguh memikirkan dan memandang Allah, ketenteraman dan kesatuan dengan segala yang ada dalam jagat raya sebagai kenyataan-kenyataan riil dalam kehidupannya, maka (salah satu) organ thalamus-nya terus aktif (sekalipun dia tidak sedang bermeditasi) dan keadaan ini memberi kepadanya suatu kesadaran yang melampaui keadaan sadar yang biasa: pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinannya bukan lagi ada hanya dalam dunia gagasan, tetapi betul-betul dialaminya dengan jelas dalam dunia nyata.

5. Amydala

Amygdala adalah bagian otak yang paling tua dalam perjalanan sejarah evolusi biologis otak manusia, terbentuk 450 juta tahun yang lalu. Amygdala menjadi suatu bagian dari sistim limbik organ otak. Jika aktivitas amygdala meningkat, maka gelombang rasa takut dan kecemasan menyerbu anda, karena zat-zat neuro-kimiawi yang destruktif mengalir deras masuk ke dalam otak. Jika orang berpikir negatif terhadap dirinya sendiri, atau memandang kehidupan ini dengan negatif, aktivitas di amygdala makin meningkat. Ketika dirangsang secara berlebihan, amygdala menciptakan suatu impresi emosional tentang suatu allah yang menakutkan, autoritatif, dan menghukum, dan menekan serta mematikan kemampuan frontal lobe untuk berpikir logis mengenai Allah.

6. Striatum

Struktur ini menghambat dan menekan aktivitas dalam amygdala sehingga memungkinkan anda merasa aman di dalam kehadiran Allah, atau di dalam kehadiran objek atau konsep apapun yang anda sedang kontemplasikan. Bersama dengan anterior cingulate (tentang ini, lihat di bawah), striatum mengendalikan amarah dan rasa takut. Jika aktivitas di dalam anterior cingulate dan striatum terhambat, maka amygdala mengambil kendali dan keadaan ini membangkitkan respons “tempur atau mundur” (fight or flight response) yang menyebar ke dalam setiap bagian otak anda.

7. Anterior cingulate

Korteks ini masih berusia sangat muda, berusia 15 juta tahun dalam perjalanan sejarah evolusi biologis otak manusia, yang berlangsung bersamaan dengan evolusi kebudayaan dan pemikiran keagamaan manusia. Korteks anterior cingulate adalah “jantung” (atau “hati”) dan “jiwa” neurologis manusia. Korteks ini memainkan suatu peran yang menentukan di dalam praktek-praktek spiritual, dan terlibat dalam pembelajaran, memori, perhatian yang terfokus, pengaturan emosi, koordinasi motoris, jumlah detak jantung, pendeteksian kesalahan, pengantisipasian ganjaran, pemonitoran konflik, evaluasi moral, perencanaan strategi, empati dan kasih sayang. ...Kesadaran sosial dan intuisi juga dibangun dalam korteks ini. 
Jika bagian otak ini diaktifkan terus-menerus, maka anda akan menjadi seorang yang toleran dan pluralis, dan dapat berumur panjang. Perempuan memiliki struktur anterior cingulate lebih besar ketimbang pria; karena itulah kaum perempuan umumnya lebih empatis, lebih mudah merasakan keadaan diri orang lain, lebih terampil bersosialisasi, tetapi juga lebih reaktif terhadap rangsangan-rangsangan yang menimbulkan ketakutan.

Struktur ini memungkinkan anda mengalami Allah sebagai Allah yang pengasih, penyayang dan berbela rasa. Struktur ini mengurangi kecemasan, rasa bersalah, ketakutan dan kemarahan religius dengan cara menekan aktivitas di dalam amygdala.

8. Sistem limbik


Sistim ini terdiri atas amygdala, hippocampus, hypothalamus, dan thalamus... Jika sistim limbik makin aktif, intensitas emosional meningkat. Orang yang memiliki sistim limbik yang sangat aktif dapat terbenam ke dalam perenungan tentang ajaran tentang dosa warisan yang bermula dari suatu Allah pemurka terhadap nenek moyang manusia. Allah yang tercipta dalam sistim limbik adalah Allah yang kejam, keras, agresif, pemarah, pendendam, penghukum dan menakutkan. Selain itu, orang yang memiliki sistim limbik yang sangat aktif mudah terserang penyakit jantung dan penyakit otak.

****
 
Jadi berdasarkan berbagai uraian diatas, bagian-bagian otak tertentu mempengaruhi (bukan memutuskan) persepsi, emosi dan tindakan individu tentang apa dan bagaimana individu tersebut merespon/menyikapi fenomena yang disebut bertemu dengan Yang Suci yang pada akhirnya membentuk corak kerohanian dan cara pandang masyarakat dalam suatu sistem religi tertentu sehingga dapat disimpulkan bahwa cara pandang religi yang dimiliki oleh Koentjaraningrat bersifat dinamis (dan oleh karenanya bersifat temporal) dan berorientasi kepada manusia sebagai subjek yang merespon dan membentuk suatu sistem religi.

Sebaliknya cara pandang para pelaku kekerasan yang ‘mengatasnamakan’ agama dapat dipahami sebagai bentuk absolutisme religius. Dalam sistem religi yang absolut, persepsi tentang Yang Suci telah dianggap final dan statis. Tidak tersentuh oleh perubahan atau kesalahan karena dianggap berasal dari dunia Ilahi yang sempurna. Sebagai akibatnya, seluruh eksistensi manusia dulu dan kini harus menyesuaikan diri dengan persepsi absolut tersebut. Dalam penjelasan Hans Kung mengenai absolutisme religius bahwa absolutisme angkuh yang demikian menganggap kebenaran miliknya sendiri sebagai “ab-solute”, yakni kebenaran yang terpisah dari kebenaran yang lain. Dalam pandangan demikian sikap superior muncul ke permukaan yakni sikap yang menganggap bahwa religi milik sendiri adalah lebih baik secara a priori (dalam etika, praktik dan teori). Dengan pendirian semacam ini jelaslah bahwa orang-orang mudah terjebak dalam polemik apologetik, berpikiran tertutup dan keras kepala atau dengan kata lain berpendirian yang menuntun kepada dogmatisme bahwa ia sudah memiliki seluruh kebenaran namun sebenarnya ia gagal menemukannya.

Cara pandang para pelaku kekerasan yang ‘mengatasnamakan’ agama dapat juga dipahami menggunakan penjelasan neurosains dari buku Newberg dan Mark. Jika bagian-bagian otak tertentu mempengaruhi persepsi, emosi dan tindakan ketika mendapat stimuli (dari khotbah, pikiran, lingkungan, teks Suci, dll), maka dapat dengan mudah diidentifikasi bahwa para pelaku kekerasan agama secara terus menerus mengaktifkan organ amydala didalam otak dengan serangkaian aktivitas keagamaan yang berfokus kepada kemarahan, kekecewaan, dan rasa takut. Hal ini mengakibatkan tertekannya aktivitas di anterior cingulate sehingga kehilangan rasa peduli pada orang lain dan akan menyerang orang lain secara agresif sebagai bentuk pertahanan diri (atau kelompok) yang diaktifkan oleh amydala yang mana sudah merupakan sifat tertua dalam sejarah evolusi manusia. Individu dengan amydala yang lebih aktif akan tertarik kepada religi yang bersifat absolut karena sistem religi demikian memiliki struktur yang mampu memberikan kepastian dan rasa aman untuk mengurangi rasa kecemasan dan ketakutan akan ketidakpastian yang dibangkitkan oleh amygdala sekaligus memberikan ruang kepada sifat agresif untuk mempertahankan struktur yang serba pasti dan mapan tersebut.

Kesadaran Ekumene Global

Agar kekerasan dengan wajah agama dapat dihindari, seseorang yang hidup didalam masyarakat yang beragam dapat memandang agama yang dipeluknya sebagai suatu bentuk persekutuan yang tidak mungkin dapat dipisahkan dengan bentuk persekutuan agama yang lain (atau dengan persekutuan hidup, budaya, adat secara lebih luas). Dengan kesadaran tersebut, seorang individu akan membangun rasa solidaritas dan kebersamaan yang terwujud bukan hanya dalam lingkup persekutuan sendiri namun meluas kepada persekutuan-persekutuan yang lain. Kesadaran akan keterhubungan inilah yang disebut oleh Hans Kung sebagai Kesadaran Ekumene Global [Kung:11]. Ini merupakan kesadaran yang mendesak untuk diwujudkan mengingat dunia sedang menghadapi apa yang disebut sebagai krisis fundamental yaitu krisis ekonomi dan politik global secara merata diseluruh belahan dunia yang ditandai tidak adanya visi dasar, kacaunya persoalan yang tidak terpecahkan, kelumpuhan politik, kepemimpinan politik dengan sedikitnya pandangan kedepan, serta minimnya nilai untuk kesejahteraan bersama. Singkat kata, manusia sedang menuju kepada kepunahan spesiesnya sendiri.

Oleh karena itu Kesadaran Ekumene Global merupakan hal mendesak untuk diwujudkan karena jika tidak, maka tidak akan ada dunia yang berpenghuni dimasa depan sebagaimana makna awal ekumene yang merujuk kepada “dunia yang berpenghuni”. Untuk mewujudkan ekumene global, Hans Kung menawarkan suatu Etik Global yang berasal dari moral manusia secara mendasar dan yang diakui oleh seluruh sistem keagamaan. Salah satu wujud Etik Global adalah komitmen kepada budaya non-kekerasan dan hormat kepada kehidupan. Dalam Etik Global diserukan bahwa perdamaian agama-agama akan berkontribusi kepada perdamaian dunia sesuai dengan slogan Hans Kung yang terkenal bahwa “tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama”. Untuk mewujudkan perdamaian agama-agama tidak ada cara lain selain membangun dialog antar agama-agama. Agar dialog bisa terwujud setiap individu harus memiliki kapasitas berdialog yaitu,

  1. Kemampuan untuk tidak menekankan kepada pemahaman milik agama sendiri, dogmatisme yang keras kepala dan tidak mengetahui cara-cara lain, tanpa pemahaman dan toleransi, dan cinta kasih pada yang lain.
  2. Kemampuan untuk tidak beralih ke cara-cara lain, kecewa dengan cara-cara sendiri atau terpesona dengan sesuatu yang baru.
  3. Kemampuan untuk tidak membuat tambahan eksternal pada tradisi kuno dari apa yang sudah dipelajari dari agama-agama lain.
  4. Dalam kesiapan untuk belajar terus-menerus, setiap individu siap sedia untuk mentransformasi diri dengan jalannya sendiri dan tetap membuka diri untuk ditransformasi oleh apa yang ia pelajari dari agama-agama lain, sehingga iman yang terdahulu tidak rusak melainkan diperkaya.
Demikianlah seharusnya pandangan yang dimiliki oleh setiap individu yang hidup didalam keragaman masyarakat seperti Indonesia. Dalam konteks Indonesia, membangun sebuah Ekumene Global berdasarkan Etik Global dengan cara dialog sebagai penuntun kehidupan bersama perlu diwujudkan agar absolutisme religius tidak mendapat kesempatan untuk berkembang dan menampakkan wujudnya dalam bentuk kekerasan beragama.

Referensi:
Kung, Hans et all. “Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim”. Penerbit Mizan. Diakses pada tanggal 05 Oktober 2011 dari URL:
http://crcs.ugm.ac.id/files/46Buku%20Hans%20Kung%20CRCS.pdf

Rakhmat, Ioanes. “How God Changes Your Brain”. Diakses pada tanggal 05 Oktober 2011 dari URL: http://ioanesrakhmat.blogspot.com/search/label/How%20God%20Changes%20Your%20Brain

Sibarani, Thedorus B. “Apa itu Etik Global (Ringkasan Buku Hans Kung : Global Ethics)?”. Diakses pada tanggal 05 Oktober 2011 dari URL:

http://theodorusbenyaminsibarani.blogspot.com/2010/07/apa-itu-etik-global-ringkasan-buku-hans.html

No comments:

Post a Comment