Friday, February 19, 2016

Manusia dan Hewan bagian 2

Di satu pihak manusia lebih dekat pada hewan-hewan; dengan suatu cara yang diliputi kabut rahasia ia muncul dari alam hewani itu dengan meninggalkan sifat-sifat seekor hewan.
Sumber (http://discovermagazine.com)

Bila didekati dari sudut lain pun pikiran ini diperkuat. Secara jasmani manusia memperlihatkan ciri-ciri bahwa ia dilahirkan terlalu cepat (prematur, kelahiran awal). Banyak hewan, yang mirip dengan manusia (seperti misalnya kera-manusia), bila masih dalam kandungan induknya, melintasi suatu tahap di mana mereka lebih mirip dengan manusia dari pada saat mereka dilahirkan dan dalam perkembangan seterusnya. Ini antara lain nampak dari bentuk kepala, poros badan, kulit yang tidak berbulu, pigmen (zat warna kulit) yang hanya sedikit saja. Jadi, dalam perkembangannya hewan-hewan itu meninggalkan bentuk kemanusiaan sebagai suatu tahap peralihan saja.




Sumber (http://www.pbs.org)


Pandangan ini mendorong Bolk untuk mengambil kesimpulan, bahwa manusia terjadi karena suatu proses retardasi, suatu perlambatan dalam perkembangannya. Manusia mundur setapak dan dibebaskan dari beban spesialisasi, tetapi dengan demikian terbukalah dimensi hidup rohani. Selaras dengan jalan pikiran ini, A. Gehlen melukiskan manusia sebagai suatu Mangelwessen, makhluk yang tidak lengkap. Bila dibandingkan dengan hewan-hewan, maka secara jasmani ia memperlihatkan kekurangan-kekurangan. Kekurangan ini menyebabkan, manusia mulai ragu-ragu, berbincang-bincang, merenungkan, pokoknya memperlihatkan tanda-tanda kehidupan rohani. Semuanya itu dilukiskan Gehlen dengan memikat sekali dan serba mendetail.


Cara pendekatan ini ada keuntungan bahwa dimensi rohani dalam diri manusia langsung dikaitkan dengan susunan jasmaninya, sejauh ini membedakan manusia dari hewan-hewan. Tetapi keberatan yang dapat diajukan terhadap teori Gehlen itu ialah bahwa pandangan Bolk yang dianutnya ini tidak lagi didukung oleh para ahli; selain itu, bila dipandang dari sudut filsafat, maka suatu “kekurangan” tidak cukup menerangkan adanya hidup rohani. Secara metodis pemusatan perhatian terhadap “kekurangan” itu bertalian dengan suatu penilaian positif (yang tidak terungkap) mengenai sifat-sifat khas dalam diri manusia; modul yang dipakai mengandaikan penilaian positif tersebut.




Pandangan mengenai manusia sebagai suatu kelahiran awal dengan lebih positif diartikan oleh A. Portman, seorang ahli filsafat dan biologi sekaligus.  Menurut dia dimensi rohani bukanlah akibat atau bertalian dengan struktur jasmani manusia yang lebih primitif bila dibandingkan dengan primat-primat lainnya. Memang, sesudah dilahirkan, manusia mengalami perkembangan yang oleh hewan-hewan serupa dilintasi di dalam kandungan induk. Juga proses pendewasaan lebih lama. Tetapi Portman tidak menerangkan roh dengan berpangkal pada badan, seolah-olah dengan demikian dipulihkan kembali suatu ketidakseimbangan atau pun terisi sebuah kekurangan.

Sumber (https://i.guim.co.uk)

Justru sebaliknya: badan diterangkan dari bertitik tolak pada roh. Kelahiran awal itu berarti bahwa si anak sambil berkembang menjadi seorang manusia yang individual, tidak terkurung dalam kandungan induknya, melainkan terbuka bagi macam-macam pengaruh sosial: anak-anak sebaya, para pendidik, dan lain-lain. Gejala sosialisasi bukanlah sesuatu yang baru dalam teori evolusi; ini dianggap sebagai faktor yang penting dalam perkembangan jenis-jenis. Pada seorang anak manusia, jauh sebelum ia mencapai tahap kedewasaan secara fisiologis, gejala sosialisasi sudah terjadi. Ia dilahirkan terlalu awal, tetapi ini justru berarti bahwa rohnya berkembang lewat kontak-kontak sosial yang menjadi faktor dalam pembentukan badannya.


Dengan demikian hubungan antara hewan dan insan ternyata sangat berbelit-belit dan rumit. Dulu manusia dianggap sebagai seekor hewan ditambah sesuatu yang ekstra (roh, akal budi). Manusia didefinisikan sebagai “animal rationale, seekor hewan yang dilengkapi dengan akal budi. Gambaran itu kini sangat berubah. Disatu pihak manusia lebih dekat pada hewan-hewan; dengan suatu cara yang diliputi kabut rahasia ia muncul dari alam hewani itu dengan meninggalkan sifat-sifat seekor hewan. Di lain sudut, selaku makhluk hidup (animal = dijiwai oleh anima), sebagai sebuah organisme jasmaniah, ia berbeda dari hewan-hewan. Semua anggota badannya mekar, terarah kepada alam rohani. Dalam diri manusia, evolusi tidak menemukan jalan buntu, tidak tertindih oleh suatu arah perkembangan yang berat sebelah,melainkan justru semakin terbuka. Dalam tubuh manusia, tangan menjadi anggota yang termulia (Aristoteles: anggota semua anggota yang lainnya), artinya: tidak semata-mata anggota badan, melainkan alam kejasmanian terangkat pada suatu tahap yang lebih tinggi. Kalau dipandang dari sudut pergulatan kehidupan yang dinamakan evolusi, maka roh dan badan justru bersatu padu. [HABIS]

Sumber (http://3.bp.blogspot.com)

sumber:
Peursen, C.A. Van, "Filosofische Orientatie", diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, 1980, PT. Gramedia, Jakarta. Diambil dari Bagian: E. Manusia; Bab XIV: Evolusi dan Manusia halaman 204-205

No comments:

Post a Comment