Monday, February 15, 2016

Mengenal Kehidupan Sosial Orang Dayak Bagian #2: Cara Mengatur Kepemilikan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Source (http://e-perpustakaan.com)


Prolog….!

Pada Bagian #1 kamu udah kenal dengan filosofi Rumah Panjang orang Dayak. Gimana menurut kamu sangat menarik bukan? Para leluhur ternyata ga sembarangan dan serampangan membangun rumah. Ada nilai atau filosofi dibaliknya.

Pada Bagian #2, aku akan ngajak kamu mengenal gimana sih cara leluhur orang Dayak mengatur kepemilikan seperti tanah, kebun, dan gimana cara mereka mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.

Ternyata dalam mengatur kepemilikan dan memanfaatkan sumber daya alam, orang Dayak memiliki semacam filosofi juga yang ga kalah kerennya dibandingkan filosofi Rumah Panjang. Bisa dibilang, dalam prakteknya orang Dayak udah “sadar lingkungan” dan “go green” jauh sebelum paham ini menjadi tren di abad 21.


Met baca guys…..!!!

Saat ini orang Dayak semakin digusur dari tanah-tanah mereka sendiri. Parahnya, tanah merupakan salah satu bagian maha-vital dalam kehidupan sosial orang Dayak: tanah adalah dasar untuk kehidupan sosial, budaya, religious, ekonomi, dan bahkan politik!


Gambar 1
Pemandangan di Sekitar Gunung Kinabalu, Negara Bagian Sabah Northern Borneo, Malaysia
(sumber http://kinabalumountainlodge.com.my)

Bagi orang Dayak, tanah menyimpan sejarah tak tertulis, tanah adalah monumen, sebuah tugu, yang jadi pengingat kepada nenek moyang, para leluhur di masa lalu. Selain itu, tanah juga dilihat sebagai tempat berlangsungnya kehidupan sehari-hari dan sekaligus warisan untuk generasi masa depan. Bagi orang Dayak, tanah menjadi semacam time machine yang jadi penghubung generasi masa lalu, masa kini, dan masa depan (Djuweng, 1992).

Anehnya, cara orang Dayak mengatur kepemilikan tanah sering banget disalahtafsirkan oleh pihak pemerintah, ahli hukum, dan yang paling ironis, oleh kaum akademis kita sendiri. Mereka sering menyebut cara orang Dayak mengatur kepemilikan sebagai cara kepemilikan komunal. Aku menolak istilah “kepemilikan komunal”, karena “komunal” berarti umum, yang berarti kepemilikan yang terbuka bagi setiap orang!

Memang, ada variasi dalam mengatur kepemilikan tanah antara sub suku Dayak. Para ahli Antropologi seperti misalkan Apel dan Dove menyebut cara kepemilikan tanah suku Dayak sebagai residual rights ( Hak Residual – Residual adalah sisa yang tertinggal setelah suatu proses selesai dijalankan ), yaitu suatu bentuk hubungan antara penduduk yang bermukin di suatu tanah dengan klaim mereka atas sebuah kawasan teritorial yang dikarenakan oleh given situation ( Given situation ialah situasi yang menyebabkan suatu hal terjadi secara otomatis ).

Ada macam-macam hak residual, misalnya, hak residual perorangan, hak residual kolektif ( satu keluarga, satu kampung, atau satu kesatuan hukum adat: seperene’an, sakampokngan – Kanayatn – , rama, saganabanyak – Simpang ), bentuk lain adalah gabungan antara hak residual perorangan dan kolektif.

Tapi menurutku, orang Dayak ga hanya menganut hak residual, karena hak residual cuma terbatas pada orang yang masih bermukim di sana, tapi juga menganut birthrights ( hak sejak lahir ), yakni ikatan seseorang dengan klaim suatu kawasan teritorial karena kelahirannya. Contohnya ya, seorang anggota masyarakat Dayak yang telah pergi meninggalkan tanahnya masih memiliki hak atas tanah itu apabila dia kembali lagi. Fenomena yang lain, pada sub suku Dayak tertentu, ada orang tua yang mewariskan tanah dengan semua tanaman yang tumbuh di atas tanah itu kepada anaknya, meskipun anak tersebut ga lagi bermukim di kampungnya.

Gambar 2
Hutan Adat Kolektif yang ditumbuhi Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) dirambah oleh perusahaan HPH tanpa seijin warga namun mengantongi ijin Pemerintah. Lokasi di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sumber (http://www.mongabay.co.id)

Orang Dayak juga mengenal adanya hutan milik adat secara kolektif. Hutan ini punya beberapa fungsi: kultural ( basis budaya ), ekologis ( basis pengelolaan lingkungan ), politis, sosial dan ekonomis. Secara kultural, di dalam kawasan hutan ini terdapat tempat-tempat keramat. Hutan-hutan seperti ini sangat terjaga kelestariannya.

Bagi orang Dayak, hutan memberikan keseimbangan kepada lingkungan. Harmoni sempurna antara manusia dan Alam adalah cita-cita yang sering digambarkan oleh orang Dayak dalam ungkapan seperti:

Dorik bamacatn, tolok banabo, torutn bapongan, sunge baikatn, bamuh buleh podi, badagang untdong, babalok laba, pisang kumang lantdang tabu lulong anak.
( artinya: gunung masih memiliki macan, teluk masih ditunggui naga, hutan dengan beragam jenis pepohonan dan satwa, sungai memiliki ikan, ladang menghasilkan padi, berdagang untung, anak-anak hidup sehat sejahtera – Dayak Simpang ).

Dayak Keriau-Pawan juga menyebut,

Hutan bajolu, sungei bisi’ ikan, rau bisi’ udang, munti’ barobong.
( artinya, hutan dengan beragam jenis pepohonan dan satwa, sungai memiliki ikan, danau memiliki udang, pohon bambu berebung ).
Sub suku Dayak yang lain juga punya ungkapan-ungkapan serupa.


Gambar 3
Hutan Adat Warga Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sumber (http://mongabaydotorg.wpengine.com)

Berdasarkan konsepsi dasar seperti itu, ketika ngelola alam dan lingkungan, orang Dayak sangat ngejaga keseimbangan alam. Pengelolaan lingkungan dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh, ada tanah untuk kawasan hutan adat, ada untuk area pertanian, untuk area perkebunan – kebun karet, kebun kopi, yang ga monokultur –, tanah pekuburan, tanah perumahan dan pekarangan, area peternakan, sungai dan danau sebagai tempat untuk perikanan. Cara orang Dayak membagi-bagi tanah sesuai fungsi dan karakteristiknya menunjukkan betapa kayanya pengetahuan asli ( local wisdom ) suku bangsa Dayak.

Dalam kawasan hutan adat juga ada terdapat hak individual dan hak kolektif atas pohon madu, pohon dammar, kayu belian. Hutan adat juga dimanfaatkan sebagai tempat mengambil kayu yang dipakai sebagai bahan bangunan. Selain itu, hutan adat dapat disepakati jadi kawasan berladang di masa depan. Di hutan adat juga hidup binatang-binatang buruan serta berbagai tumbuhan sayur-mayur dan tumbuhan obat pun dapat ditemukan.


Gambar 4
 Perusahaan kerap datang dan membujuk warga agar mereka boleh masuk ke hutan adat. Namun, warga desa ini sepakat mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka. Perkampungan desa Punan Adiu. Lokasinya di hutan Kalimantan Utara, Kabupaten Malinau Selatan Hilir. Sumber (http://www.mongabay.co.id), Foto: Christopel Paino

Dalam bertani, orang Dayak bercocok tanam dalam siklus 5 – 15 tahun, maksudnya agar kesuburan tanah tetap terjaga dan memberi kesempatan pepohonan hutan beregenerasi. Contohnya, sehabis menanam padi, lahan lantas ditanami dengan pohon karet, buah-buahan, atau rotan. Ketika pohon karet, buah atau rotan udah dianggap ga produktif lagi, lahan itu dibuka kembali jadi ladang. Ladang bukan cuma tempat menanam padi, tapi juga tempat menanam sayuran yang umurnya pendek ( 1 bulan – 2 tahun ).

Kalo kamu berkunjung ke kampung orang Dayak, kamu hampir dipastikan akan menjumpai kebun karet, rotan, dan kopi di mana-mana. Di Kalimantan Barat, buah durian, langsat, rambutan, kemayau, buah-buah hutan eksotis dan macam-macam buah sering dibeli para turis dari Sarawak. Sayangnya sejak tahun 1995, mafia pedagang buah melarang para turis membeli langsung dari pemilik kebun menyebabkan harga buah-buahan dikendalikan oleh para mafia.


Gambar 5
Aktivitas Menyadap Pohon Karet untuk Mengambil Getahnya di Desa Teweh, Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kini Harga Karet Anjlok dari Rp 15.000/Kg menjadi Rp 4.000/Kg karena Permainan Harga oleh Mafia. (Sumber http://www.borneonews.co.id)

Orang Dayak juga menguasai pengetahuan tentang tanaman obat-obatan. Di suatu desa di Kecamatan Simpang Hulu, tahun 1992, penduduknya terjangkit virus hepatitis. Para perawat setempat menganjurkan pasien untuk menggunakan ramuan tradisional ketimbang berobat ke Puskesmas.

Selain mengobati menggunakan media tanaman obat, orang Dayak juga mengenal pengobatan menggunakan media ritual. Ada dua jenis penyakit yang bisa diobati secara ritual yaitu penyakit perorangan dan kelompok (wabah). Menurut sudut pandang ritualistik, penyakit perorangan disebabkan karena yang bersangkutan melanggar larangan adat. Sedangkan wabah disebabkan karena adanya keseimbangan dengan alam yang dilanggar.

Untuk saat ini, belum ada usaha terpadu di kalangan orang Dayak untuk mengelola hasil alamnya seperti misalkan membuat pabrik pengolahan karet, kopi, dan rotan secara mandiri, atau berniat memasarkan dan menjadi supplier hasil alam secara terorganisir dan efesien. Belum ada juga para dokter Dayak yang terjun meneliti kekayaan tanaman obat-obatan atau mengumpulkan berbagai pengetahuan lisan orang Dayak tentang teknik menyembuhkan atau mengobati beragam penyakit.

Ironi yang lain, orang Dayak banyak yang mengandalkan para pengepul untuk menjual hasil alamnya. Hal ini rupanya yang menyebabkan harga di tingkat lokal sangat murah dan harga komoditas orang Dayak sangat rentan dipermainkan oleh mafia. Selain itu, sekarang banyak pengusaha dengan modal besar membuka pertanian dan perkebunan (dan juga pertambangan) di Kalimantan, menggusur tanah pertanian dan perkebunan milik orang Dayak. Pada akhirnya demi bertahan hidup orang Dayak menjadi buruh di perusahaan pertanian dan perkebunan itu.

Dalam proses menggusur tanah dan hutan ga jarang bahkan sering sekali terjadi hutan adat, situs keramat dan hutan tempat orang Dayak bergantung hidup ikut dihancurkan pula. Semuanya demi alasan memenuhi permintaan pasar global, menggenjot PAD (Pendapatan Asli Daerah), ngebuka lapangan kerja, dan well, semua orang tau: untuk ngepuasin ketamakan segelintir orang.

Sebagai generasi muda Dayak, apa yang bisa kamu lakukan seandainya kamu jadi pejabat publik, anggota DPR ato pengusaha? Akankah kamu bisa berbuat sesuatu yang win-win solution sifatnya??

[bersambung…. ]

--

*) Isi tulisan ini sepenuhnya disadur dari buku “Kurban yang Berbau Harum – 65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur” halaman 81 – 98 dengan bahasa yang udah dimodif dan diimprov untuk kaum muda. Boleh nyalin dan ngutip tulisan ini dengan syarat nyantumin kredit di bawah ini:


Sumber: Buku “Kurban yang Berbau Harum – 65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur”, Disadur oleh Illuminatoz (darknezz.world@gmail.com) 

No comments:

Post a Comment