Source (http://e-perpustakaan.com)
Prolog….!
Pada Bagian #1 kamu udah
kenal dengan filosofi Rumah Panjang orang Dayak. Gimana menurut kamu sangat
menarik bukan? Para leluhur ternyata ga sembarangan dan serampangan membangun
rumah. Ada nilai atau filosofi dibaliknya.
Pada Bagian #2, aku akan ngajak
kamu mengenal gimana sih cara leluhur orang Dayak mengatur kepemilikan seperti
tanah, kebun, dan gimana cara mereka mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam.
Ternyata dalam mengatur
kepemilikan dan memanfaatkan sumber daya alam, orang Dayak memiliki semacam
filosofi juga yang ga kalah kerennya dibandingkan filosofi Rumah Panjang. Bisa
dibilang, dalam prakteknya orang Dayak udah “sadar lingkungan” dan “go green” jauh sebelum paham ini menjadi
tren di abad 21.
Met baca guys…..!!!
Saat ini orang Dayak
semakin digusur dari tanah-tanah mereka sendiri. Parahnya, tanah merupakan
salah satu bagian maha-vital dalam kehidupan sosial orang Dayak: tanah adalah
dasar untuk kehidupan sosial, budaya, religious, ekonomi, dan bahkan politik!
Gambar 1
Pemandangan di Sekitar Gunung Kinabalu, Negara Bagian Sabah Northern Borneo, Malaysia
(sumber http://kinabalumountainlodge.com.my)
Bagi orang Dayak, tanah
menyimpan sejarah tak tertulis, tanah adalah monumen, sebuah tugu, yang jadi
pengingat kepada nenek moyang, para leluhur di masa lalu. Selain itu, tanah
juga dilihat sebagai tempat berlangsungnya kehidupan sehari-hari dan sekaligus
warisan untuk generasi masa depan. Bagi orang Dayak, tanah menjadi semacam time machine yang jadi penghubung generasi
masa lalu, masa kini, dan masa depan (Djuweng, 1992).
Anehnya, cara orang Dayak
mengatur kepemilikan tanah sering banget disalahtafsirkan oleh pihak
pemerintah, ahli hukum, dan yang paling ironis, oleh kaum akademis kita
sendiri. Mereka sering menyebut cara orang Dayak mengatur kepemilikan sebagai
cara kepemilikan komunal. Aku menolak istilah “kepemilikan komunal”, karena
“komunal” berarti umum, yang berarti kepemilikan yang terbuka bagi setiap
orang!
Memang, ada variasi dalam
mengatur kepemilikan tanah antara sub suku Dayak. Para ahli Antropologi seperti
misalkan Apel dan Dove menyebut cara kepemilikan tanah suku Dayak sebagai residual rights ( Hak Residual – Residual adalah sisa yang tertinggal setelah
suatu proses selesai dijalankan ), yaitu suatu bentuk hubungan antara
penduduk yang bermukin di suatu tanah dengan klaim mereka atas sebuah kawasan teritorial
yang dikarenakan oleh given situation
( Given situation ialah situasi yang
menyebabkan suatu hal terjadi secara otomatis ).
Ada macam-macam hak residual,
misalnya, hak residual perorangan, hak residual kolektif ( satu keluarga, satu
kampung, atau satu kesatuan hukum adat: seperene’an,
sakampokngan – Kanayatn – , rama,
saganabanyak – Simpang ), bentuk lain adalah gabungan antara hak residual
perorangan dan kolektif.
Tapi menurutku, orang
Dayak ga hanya menganut hak residual, karena hak residual cuma terbatas pada
orang yang masih bermukim di sana, tapi juga menganut birthrights ( hak sejak lahir ), yakni ikatan seseorang dengan
klaim suatu kawasan teritorial karena kelahirannya. Contohnya ya, seorang
anggota masyarakat Dayak yang telah pergi meninggalkan tanahnya masih memiliki
hak atas tanah itu apabila dia kembali lagi. Fenomena yang lain, pada sub suku
Dayak tertentu, ada orang tua yang mewariskan tanah dengan semua tanaman yang
tumbuh di atas tanah itu kepada anaknya, meskipun anak tersebut ga lagi
bermukim di kampungnya.
Gambar 2
Hutan Adat Kolektif yang ditumbuhi Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) dirambah oleh perusahaan HPH tanpa seijin warga namun mengantongi ijin Pemerintah. Lokasi di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sumber (http://www.mongabay.co.id)
Hutan Adat Kolektif yang ditumbuhi Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) dirambah oleh perusahaan HPH tanpa seijin warga namun mengantongi ijin Pemerintah. Lokasi di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sumber (http://www.mongabay.co.id)
Orang Dayak juga mengenal adanya hutan milik adat secara kolektif. Hutan ini punya beberapa fungsi: kultural ( basis budaya ), ekologis ( basis pengelolaan lingkungan ), politis, sosial dan ekonomis. Secara kultural, di dalam kawasan hutan ini terdapat tempat-tempat keramat. Hutan-hutan seperti ini sangat terjaga kelestariannya.
Bagi orang Dayak, hutan
memberikan keseimbangan kepada lingkungan. Harmoni sempurna antara manusia dan
Alam adalah cita-cita yang sering digambarkan oleh orang Dayak dalam ungkapan
seperti:
Dorik bamacatn, tolok banabo, torutn bapongan, sunge baikatn, bamuh buleh podi, badagang untdong, babalok laba, pisang kumang lantdang tabu lulong anak.
( artinya: gunung masih memiliki
macan, teluk masih ditunggui naga, hutan dengan beragam jenis pepohonan dan
satwa, sungai memiliki ikan, ladang menghasilkan padi, berdagang untung,
anak-anak hidup sehat sejahtera – Dayak Simpang ).
Dayak Keriau-Pawan juga menyebut,
Hutan bajolu, sungei bisi’ ikan, rau bisi’ udang, munti’ barobong.
( artinya, hutan dengan beragam jenis
pepohonan dan satwa, sungai memiliki ikan, danau memiliki udang, pohon bambu
berebung ).
Sub suku Dayak yang lain juga punya
ungkapan-ungkapan serupa.
Gambar 3
Hutan Adat Warga Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sumber (http://mongabaydotorg.wpengine.com)
Berdasarkan konsepsi
dasar seperti itu, ketika ngelola alam dan lingkungan, orang Dayak sangat ngejaga
keseimbangan alam. Pengelolaan lingkungan dilaksanakan secara terpadu dan
menyeluruh, ada tanah untuk kawasan hutan adat, ada untuk area pertanian, untuk
area perkebunan – kebun karet, kebun kopi, yang ga monokultur –, tanah
pekuburan, tanah perumahan dan pekarangan, area peternakan, sungai dan danau
sebagai tempat untuk perikanan. Cara orang Dayak membagi-bagi tanah sesuai
fungsi dan karakteristiknya menunjukkan betapa kayanya pengetahuan asli ( local wisdom ) suku bangsa Dayak.
Dalam kawasan hutan adat
juga ada terdapat hak individual dan hak kolektif atas pohon madu, pohon dammar,
kayu belian. Hutan adat juga dimanfaatkan sebagai tempat mengambil kayu yang
dipakai sebagai bahan bangunan. Selain itu, hutan adat dapat disepakati jadi
kawasan berladang di masa depan. Di hutan adat juga hidup binatang-binatang
buruan serta berbagai tumbuhan sayur-mayur dan tumbuhan obat pun dapat
ditemukan.
Gambar 4
Perusahaan kerap datang dan membujuk warga agar mereka boleh masuk ke hutan adat. Namun, warga desa ini sepakat mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka. Perkampungan desa Punan Adiu. Lokasinya di hutan Kalimantan Utara, Kabupaten Malinau Selatan Hilir. Sumber (http://www.mongabay.co.id), Foto: Christopel Paino
Perusahaan kerap datang dan membujuk warga agar mereka boleh masuk ke hutan adat. Namun, warga desa ini sepakat mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka. Perkampungan desa Punan Adiu. Lokasinya di hutan Kalimantan Utara, Kabupaten Malinau Selatan Hilir. Sumber (http://www.mongabay.co.id), Foto: Christopel Paino
Dalam bertani, orang
Dayak bercocok tanam dalam siklus 5 – 15 tahun, maksudnya agar kesuburan tanah
tetap terjaga dan memberi kesempatan pepohonan hutan beregenerasi. Contohnya,
sehabis menanam padi, lahan lantas ditanami dengan pohon karet, buah-buahan,
atau rotan. Ketika pohon karet, buah atau rotan udah dianggap ga produktif
lagi, lahan itu dibuka kembali jadi ladang. Ladang bukan cuma tempat menanam
padi, tapi juga tempat menanam sayuran yang umurnya pendek ( 1 bulan – 2 tahun
).
Kalo kamu berkunjung ke
kampung orang Dayak, kamu hampir dipastikan akan menjumpai kebun karet, rotan,
dan kopi di mana-mana. Di Kalimantan Barat, buah durian, langsat, rambutan,
kemayau, buah-buah hutan eksotis dan macam-macam buah sering dibeli para turis
dari Sarawak. Sayangnya sejak tahun 1995, mafia pedagang buah melarang para
turis membeli langsung dari pemilik kebun menyebabkan harga buah-buahan
dikendalikan oleh para mafia.
Gambar 5
Aktivitas Menyadap Pohon Karet untuk Mengambil Getahnya di Desa Teweh, Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kini Harga Karet Anjlok dari Rp 15.000/Kg menjadi Rp 4.000/Kg karena Permainan Harga oleh Mafia. (Sumber http://www.borneonews.co.id)
Orang Dayak juga
menguasai pengetahuan tentang tanaman obat-obatan. Di suatu desa di Kecamatan
Simpang Hulu, tahun 1992, penduduknya terjangkit virus hepatitis. Para perawat
setempat menganjurkan pasien untuk menggunakan ramuan tradisional ketimbang
berobat ke Puskesmas.
Selain mengobati
menggunakan media tanaman obat, orang Dayak juga mengenal pengobatan
menggunakan media ritual. Ada dua jenis penyakit yang bisa diobati secara
ritual yaitu penyakit perorangan dan kelompok (wabah). Menurut sudut pandang ritualistik,
penyakit perorangan disebabkan karena yang bersangkutan melanggar larangan
adat. Sedangkan wabah disebabkan karena adanya keseimbangan dengan alam yang
dilanggar.
Untuk saat ini, belum ada
usaha terpadu di kalangan orang Dayak untuk mengelola hasil alamnya seperti
misalkan membuat pabrik pengolahan karet, kopi, dan rotan secara mandiri, atau
berniat memasarkan dan menjadi supplier hasil alam secara terorganisir dan
efesien. Belum ada juga para dokter Dayak yang terjun meneliti kekayaan tanaman
obat-obatan atau mengumpulkan berbagai pengetahuan lisan orang Dayak tentang
teknik menyembuhkan atau mengobati beragam penyakit.
Ironi yang lain, orang
Dayak banyak yang mengandalkan para pengepul untuk menjual hasil alamnya. Hal
ini rupanya yang menyebabkan harga di tingkat lokal sangat murah dan harga
komoditas orang Dayak sangat rentan dipermainkan oleh mafia. Selain itu,
sekarang banyak pengusaha dengan modal besar membuka pertanian dan perkebunan
(dan juga pertambangan) di Kalimantan, menggusur tanah pertanian dan perkebunan
milik orang Dayak. Pada akhirnya demi bertahan hidup orang Dayak menjadi buruh
di perusahaan pertanian dan perkebunan itu.
Dalam proses menggusur
tanah dan hutan ga jarang bahkan sering sekali terjadi hutan adat, situs
keramat dan hutan tempat orang Dayak bergantung hidup ikut dihancurkan pula.
Semuanya demi alasan memenuhi permintaan pasar global, menggenjot PAD
(Pendapatan Asli Daerah), ngebuka lapangan kerja, dan well, semua orang tau: untuk ngepuasin ketamakan segelintir orang.
Sebagai generasi muda
Dayak, apa yang bisa kamu lakukan seandainya kamu jadi pejabat publik, anggota
DPR ato pengusaha? Akankah kamu bisa berbuat sesuatu yang win-win solution sifatnya??
--
*) Isi tulisan ini sepenuhnya disadur
dari buku “Kurban yang Berbau Harum – 65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur” halaman
81 – 98 dengan bahasa yang udah dimodif dan diimprov untuk kaum muda. Boleh
nyalin dan ngutip tulisan ini dengan syarat nyantumin kredit di bawah ini:
No comments:
Post a Comment