Sunday, October 16, 2011

Tuhan Tanpa Nama dalam Agama Buddha Bagian 4


Kredit: http://resources.touropia.com


Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

3. Ketiadaan

Dalam filsafat kaum Buddha, bahkan istilah “ketiadaan/nothingness” tidak boleh dipahami dalam pengertian kaum nihilist, sebuah fakta yang membuat jelas masalah ini khususnya berasal dari Japanese Kyoto School yang dikepalai oleh Kitaro Nishida (1870-1945), yang seringkali disebut Bapak filosofi Jepang modern dan yang juga tergabung khususnya dalam penanggulangan sekularisasi modern dan ilmu pengetahuan, juga dengan ateisme dan nihilisme. 

Kyoto School mewakili usaha orang Jepang untuk mengembangkan sintesis antara filosofi Barat dan Timur. Dalam karyanya, Nishida berurusan dengan banyak sekali filsuf Barat: dengan Leibniz, Kant, Fichte dan Hegel, dan juga bersama Nicholas dari Cusa, Descartes, dan Spinoza. Dia menulis dengan gaya yang lebih meditatif dan evokatif dari pada jelas dan tepat. Filsafatnya memuncak pada konsep mengenai “Ketiadaan” yang absolut (Jepang, mu). 


Namun konsep ini tidak ada hubungannya dengan filsafat nihilisme dalam pengertian Nietzsche atau dengan ateisme existensial dalam pengertian Sartre. Karya Nishida hanya dapat dipahami melalui latar belakang keyakinannya dalam Tao dan Buddha; disamping semua pengaruh Barat dalam karyanya, filsafat Nishida tetaplah secara mendalam berakar pada cara hidup dan visi dunia Ketimuran-nya. Sekarang, apakah kemudian makna dari “Ketiadaan” ini?

Dengan menyebut “ketiadaan”, Nishida tidak bermaksud “ketiadaan” yang hanya berarti “tidak ada” belaka, melainkan berarti Ketiadaan Absolut, yang mana mencakup ketiadaan yang ada dan ketiadaan yang relatif. 

Berakar dari gagasan Buddha mengenai “kekosongan”, konsep ini dalam beberapa cara sejajar dengan gagasan Kristen mengenai Tuhan dalam theologia negativa. Oleh karena itu Nishida dapat memperjelas gagasannya dengan merujuk kepada karya Nicholas dari Cusa, De docta ignorantia: “Dalam bentuk apakah Tuhan itu ada? Dilihat dari satu sudut pandang, Tuhan, sebagaimana seorang Nicholas dari Cusa katakan, adalah semua negasi/peniadaan, karena yang harus dipahami oleh setiap orang yaitu segala sesuatu yang bisa diraih, bukanlah Tuhan, oleh karena jika Ia dapat ditentukan dan diraih, maka Ia menjadi terbatas, dan tidak mampu untuk menyelenggarakan fungsi tak terbatas dalam menyatukan alam semesta. (De docta ignorantia, Cap. 24). Dilihat dari sudut pandang ini, Tuhan adalah ketiadaan absolut. 

Bagaimanapun, jika seseorang berkata bahwa Tuhan adalah ketiadaan belaka, maka tentunya bukan itu yang dimaksud. ... Karena Tuhan adalah pemersatu alam semesta. ... Ia adalah dasar realitas, dan oleh karena Ia mampu menjadi yang tiada, maka tiada satupun tempat dimana Ia tidak bekerja.” Disini juga terdapat kesamaan dengan karya Heidegger yang kemudian, dan hal ini pun diketahui oleh Kyoto School: “kata-kata Heidegger tentang penyingkapan Keberadaan yang menjelma dalam hidup manusia melalui ‘tidak ada apa-apa/nothing’ terdengar akrab dengan para pemikir Jepang. Sekali seseorang telah mencapai yang mengatasi segala sesuatu/transenden dan menyatu dengan sesuatu yang sukar dipahami, maka ia sudah melampaui semua antitetik yang berlawanan.”

Hal ini tidaklah berarti, tentunya, bahwa, bagi Nishida, penjabarannya mengenai Tuhan identik dengan Barat, dengan gagasan Kristen. Sebabnya adalah, bagi Nishida, Tuhan bukanlah sesembahan yang personal melainkan Tuhan yang mistis. Tuhan yang sejati adalah “kekosongan”-nya Buddhisme Mahayana dalam pengertian Nagarjuna. Bagi Nishida, yang Absolut adalah sekaligus mengatasi segala sesuatu dan tetap ada/immanent. Disinilah Nishida melihat “letak kelemahan teologi dialektis masa kini. Tuhan absolut yang sejati harus mengatasi dan merangkul kita sekaligus.” Dalam beberapa pernyataan khusus, Nishida bahkan berbicara tentang iman dan kasih: “Tuhan bukanlah seseorang yang harus dipahami menurut analisa dan penalaran. Jika kita menganggap bahwa esensi realitas adalah sesuatu yang personal, maka Tuhan adalah sesuatu yang paling personal. Pemahaman kita mengenai Tuhan hanya dimungkinkan melalui intuisi iman atau kasih. Oleh karena itu, kita yang berkata bahwa kita tidak mengenal Tuhan namun yang hanya mengasihi Dia dan mempercayai Dia adalah seseorang yang paling mungkin untuk mengenal Tuhan.” (Bersambung)

****
Kung, Hans. “Does God Exist, An Answer for Today”. 1980. Doubleday and Company, Inc. Garden City, New York. Section G.I: The God of the non-Christian religions. Page: 594 - 600

Perhatian:

(Hak cipta terjemahan menjadi hak milik Illuminatoz, setiap pemanfaatan terjemahan baik sebagian maupun seluruhnya wajib menyertakan nama “Illuminatoz” dan link URL ke blog illuminatoz, http://workofmydarknezz.blogspot.com demikian pula sumber rujukan kepada Buku Prof. Hans Kung wajib disertakan, Terima kasih sudah menghargai hak cipta)

No comments:

Post a Comment