Sunday, October 16, 2011

Tuhan Tanpa Nama dalam Agama Buddha Bagian 1

 Source (http://cdn3.gbtimes.com)

Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

Buddhisme

Buddhisme nampaknya mengambil posisi yang sangat berlawan dengan pemahaman Kristen mengenai Tuhan. Buddhisme telah menunjukkan kekuatan yang besar selama beberapa abad belakangan ini: bukan hanya karena kemampuannya bertahan dalam dunia yang semakin sekuler dan kemampuannya beradaptasi dengan perkembangan sosiologis tetapi juga daya tarik yang sangat kuat untuk menelaah ajaran Buddha bahkan sampai hari ini tetap menarik minat para intelektual Barat untuk menelaahnya (kita barangkali ingat dengan ketertarikan Schopenhauer dan kita dapat melihat kesejajarannya dalam Heidegger). 


Beberapa pengikut Buddha bahkan mengklaim bahwa pandangan mereka yang lebih impersonal, yang mengekspresikan Sang Absolut secara negatif lebih cocok untuk membuat Jepang sebagai dunia teknologi yang sekuler, membuat Amerika dan Eropa menyadari latar belakang di balik pengalaman, dan memberikan arti dan interpretasi yang lebih dalam mengenai realitas dari pada pandangan Barat yang memandang Tuhan secara personal.

Meskipun demikian, nampaknya kesulitan dalam memahami Buddhisme hampir tak teratasi:




Yang paling utama, banyak istilah yang dipakai di Timur memiliki makna yang agak berbeda sebagaimana istilah tersebut dipakai di Barat. Dalam perdebatan mengenai keberadaan (being) dan bukan keberadaan (not-being), filsuf Barat dan teolog lebih memilih pendirian mereka pada sisi keberadaan, sedangkan filsuf Timur pada sisi bukan keberadaan. Sekalipun begitu, di Timur, istilah seperti “bukan keberadaan (not-being)”, “bukan jatidiri (not-self)”, “tanpa ego (nonego)”, “ketiadaan (nothingness)”, “kekosongan (void)”, “keheningan (silence)”, tidaklah melulu memiliki makna yang negatif sebagaimana yang dipahami di Barat.

Kedua, banyak terjadi bahwa bagi istilah dan gagasan yang sama memiliki penafsiran yang berbeda dari pada yang terjadi di Barat. Penafsiran yang bertolak belakang antara aliran “Kendaraan yang lebih rendah” (Buddhisme Hinayana) dan “Kendaraan yang lebih besar” (Buddhisme Mahayana) telah berulangkali menyeret kepada ajaran dan praktik yang berlawanan, mulai dari tingkat pemujaan yang bersahaja sampai kepada tingkat filosofi yang paling luhur. Pokok persoalan para pengikut Buddha, dengan penekanannya pada pencerahan individual, tidak selalu persis dengan begitu mudah menghasilkan jawaban yang seragam diantara mereka.

Haruskah kita, kemudian, dari permulaan merasa putus asa pada kegiatan saling memahami antara pengikut Kristen dan Buddha? Pernah dikatakan bahwa teolog Protestan, Paul Tillich, pada liburannya mengunjungi Jepang di tahun 1960, tidak mendapatkan berbagai jawaban yang memuaskan bagi berbagai pertanyaan dasar yang telah dia persiapkan bagi beberapa teman bicara buddhist: sebagian disebabkan oleh kesulitan penerjemahan, sebagian lainnya disebabkan karena perbedaan pendirian diantara berbagai paham Buddhisme sendiri. 

Walaupun demikian, Tillich menemukan bahwa dialog khususnya antara iman Kristen dan Buddhisme menjadi sangat penting, sehingga, sekembalinya ia dari Jepang, Tillich menuliskan bukunya yang berjudul Christianity and the Encounter of the World Religions (1962). Mircea Eliade, seorang pakar pada ilmu keagamaan, mengatakan bahwa Tillich ingin menuliskan sebuah “Teologi Sistematik” yang baru, dengan pandangan dialogis pada sejarah keagamaan, namun tertunda karena kematiannya pada tahun 1965.

Yang menjadi kesulitan dalam dialog khususnya, bagaimanapun juga adalah masalah yang menyangkut persoalan mengenai Tuhan. Dalam filsafat Barat, Tuhan dipandang seluruhnya dalam istilah yang positif dan Tuhan diberikan banyak gelar yang positif seperti: Sang Absolut, aktivitas murni, Sang keberadaan, tanpa menyebutkan gelar yang khas Kristen (misalnya “Tuhan adalah kasih”). 

Dengan demikian, apakah ada dasar untuk masuk kedalam suatu diskusi khususnya pada persoalan mengenai Tuhan dengan agama yang sepenuhnya dan seluruhnya berorientasi kepada sisi yang berlawanan? Yaitu kepada: bukan Absolut, bukan keberadaan, nirwana, kekosongan, bahkan ketiadaan yang absolut? Inilah yang secara tepat menggambarkan apa yang terjadi pada agama-agama dan filsafat Timur, khususnya bagi yang terinspirasi oleh sekolah Buddhisme Mahayana tertentu (Zen, misalnya).

Buddhisme, bagaimanapun juga, lebih tertarik pada persoalan mengenai keselamatan manusia dari pada persoalan mengenai Tuhan. Sesungguhnya ajaran Buddha bertujuan pada cara-cara praktis menuju kebebasan dari penderitaan dalam hidup saat ini yang disebabkan oleh keinginan manusia akan keduniawian, mementingkan diri, menonjolkan diri sendiri: singkatnya Buddha mengajarkan jalan menuju nirwana. Hal ini menyebabkan, Buddhisme pada inti teori dan praktiknya adalah bersifat nonteistik: artinya, Buddhisme tidak memiliki konsep mengenai Tuhan sebagai Penyebab Awal, Pencipta, Bapa yang Mahakuasa. 

...Mengenai persoalan-persoalan metafisik, Sang Buddha historis – yang secara pribadi tidak pernah menulis apapun dan kita mengenalnya sebagaimana adanya hanya dari sekian banyak saksimata yang muncul belakangan – mempertahankan sikap diam yang sempurna. 

Menurut Sang Buddha, hanya kesia-siaan belaka memusingkan seseorang yang sedang terluka parah oleh anak panah beracun dengan persoalan-persoalan mengenai kasta, keluarga, dan rupa dari penyerangnya. Demikian juga halnya, hanya kesia-siaan belaka mengharapkan seseorang yang sedang menderita untuk menjawab persoalan mengenai kekekalan atau ketidakkekalan, keterbatasan atau ketakterbatasan dunia, atau mengenai kehidupan setelah kematian. 

Persoalan-persoalan demikian tidaklah membantu seseorang untuk mencapai keadaan yang seharusnya dicapai yaitu: penarikan diri dari keduniawian, tanpa keinginan, keheningan, pengetahuan yang lebih tinggi, pencerahan; dalam satu kata, nirwana. Nirwana? Kekosongan? Ketiadaan? Apakah pengertian bagi konsep-konsep dasar Buddhisme ini? (Bersambung)
-------------
Kung, Hans. “Does God Exist, An Answer for Today”. 1980. Doubleday and Company, Inc. Garden City, New York. Section G.I: The God of the non-Christian religions. Page: 594 - 600

Perhatian:

(Hak cipta terjemahan menjadi hak milik Illuminatoz, setiap pemanfaatan terjemahan baik sebagian maupun seluruhnya wajib menyertakan nama “Illuminatoz” dan link URL ke blog illuminatoz, http://workofmydarknezz.blogspot.com demikian pula sumber rujukan kepada Buku Prof. Hans Kung wajib disertakan, Terima kasih sudah menghargai hak cipta)

No comments:

Post a Comment