Friday, July 15, 2011

Hubungan antara Ilmu Pengetahuan Modern (Modern Science) dan Agama (Theology) Bag. 2

Source (http://i.dailymail.co.uk)

Ilmu Pengetahuan Modern

Manusia telah belajar menggunakan akalnya jauh melampaui wilayah yang luas. Namun, apakah manusia hanya hidup dengan akalnya saja?
  • Ini berlaku benar secara prinsip dan menurut sejarah bahwa penting bagi manusia, dipengaruhi oleh keraguan, untuk belajar memanfaatkan akalnya dengan lebih baik, dengan dipimpin oleh ilmu pengetahuan untuk menyelidiki alam dan hukum-hukumnya tanpa prasangka, sebagaimana pada akhirnya mampu menyelidiki dirinya sendiri dan kondisi sosiologis dalam semua aspeknya.
  • Walaupun rationalitas yang otonom dan pengetahuan ilmiah dibenarkan dalam prinsip dan untuk keperluan sejarah, demi keseluruhan eksistensi manusia dan pencerahan yang asli, rationalitas tidak seharusnya diposisikan sebagai yang absolut. Sebagai tambahan kepada akal, kita juga perlu menyertakan keinginan dan perasaan, imajinasi dan tempramen, emosi dan gairah, yang mana tidak bisa secara sederhana direduksi kepada akal saja: dengan kata lain selain ditambahkan cara berpikir metodik-rasional (l’esprit de geometrie), juga perlu kepandaian intuitif-total, pikiran sehat, dan perasaan (l’esprit de finesse).

Ilmu pengetahuan modern yang ideal terdiri dari metode yang memadai, jelas, saksama: yaitu, pada akhirnya, memodelkan secara matematis suatu masalah. Masalahnya, dapatkah semua dimensi kemanusiaan dibangun dengan cara ini?
  • Bagi penyelidikan ilmiah pada semua bidang, diperlukan metode yang aman, netral, dan memadai, bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam. Demi penerapan metode ini, kriteria seperti kejelasan dan pembagian (distinctness), ketelitian, kemanjuran dan objektifitas adalah penting. Di dunia dimana sesuatu dapat diukur dan dapat dihitung, semangat geometri, objektivitas, tak memihak dan kemerdekaan dari berbagai nilai harus dijaga. Masalah harus dimodelkan secara matematis, dapat dihitung, dan diformalisasi sebisa mungkin.
  • Walaupun pemahaman ideal matematik-ilmiah seperti kejelasan dan pembedaan, ketelitian, kemanjuran dan objektivitas, bagaimanapun, kita tidak seharusnya memperluas jangkauannya – seperti jika ia memiliki sejumlah klaim eksklusif – ke wilayah pikiran manusia secara keseluruhan, yang mana dalam faktanya melebihi pemahaman matematika. Memodelkan secara matematik, secara terhitung dan secara formal tidaklah mencukupi untuk mendapatkan pemahaman mengenai dunia kualitatif dan berbagai fenomena manusia seperti tersenyum, humor, musik, seni, penderitaan, cinta, iman, dalam keseluruhan dimensinya. Apa yang sebenarnya diukur tidak dapat dikenali bersama dengan fenomena yang sedang dipertimbangkan. Hal ini tak cukup satu saja – [yaitu] rasionalitas matematik-ilmiah. Bahkan dalam ilmu pengetahuan, terdapat banyak metode dan bukan hanya satu: penggunaan metode tergantung pada beberapa set fakta dari masalah yang ada. Objektivitas, tidak memihak, dan kemerdekaan dari berbagai nilai akan memiliki makna bagi ilmu pengetahuan hanya jika kita tetap menyadari keseluruhan referensi sistem dan kepentingan dibalik pencarian pengetahuan, dan berbagai asumsi yang menyusun metode, hasil-hasil praktis dan tanggungjawab personal dan sosial. Metode dan ilmu pengetahuan tidak seharusnya menjadi tujuan akhir melainkan sebagai jalan untuk memanusiakan manusia.
  • Selama tidak menjadi sebuah ideologi, teori pengetahuan dapat menjadi penolong bagi filosofi dan teologi sejauh hal ini berhubungan dengan wilayah ilmu pengetahuan. Kritik, oleh karena itu, harus diterima, tapi tidak untuk meruntuhkan.
  • Hal ini sah untuk membangun logika formal yang murni, analisa bahasa, dan sebuah teori pengetahuan bersamaan dengan mempertanyakan mengenai verifikasi atau kekeliruan dari proposisi empiris. Ini akan berguna bagi filosofi dan teologi hanya jika mereka menggunakan prinsip logika, analisis bahasa dan teori pengetahuan saat berusaha untuk memformulasikan masalah mereka agar terhindar dari pengertian ganda sebisa mungkin, agar mendapatkan pemahaman yang jernih dari prosedur spesifik yang dipakai, agar dapat memberikan konsep yang lebih mendekati, agar dapat menggunakan bahasa ilmiah yang tepat dan agar dapat memeriksa secara kritis berbagai usaha untuk menemukan solusi. Dalam pengertian ini, teologi, juga, jika mengklaim dirinya ilmiah, harus melakukannya secara rasional, yaitu melakukan secara kritis dan dalam semangat tanggungjawab intelektual.
  • Logika formal, analisa bahasa dan teori pengetahuan, tidaklah – lebih dari teologi – dibuat kedalam satu bentuk utuh ilmu pengetahuan dengan klaim universal. Masalah verifikasi atau kekeliruan pernyataan harus dilihat dalam keseluruhan konteks sejarah, masyarakat dan hermeneutic mereka. Ini tidaklah menolong bagi teologi dan filosofi untuk dipecahkan kedalam logika, analisa bahasa dan teori pengetahuan, untuk menjadi terlalu diserap kedalam pertanyaan mengenai metode sebagaimana tidaklah pernah menolong untuk menangkap rupa dari “materi” mereka dan melihat tujuan tunggal mereka dalam pandangan kritis desktruktif secara rasional. Teologi, juga, mengembankan tanggungjawab intelektual sebagaimana ilmu pengetahuan hanya jika – tambahan pula kepada fungsi kritik – ia menerima juga fungsi rational dan fungsi sebagai pihak yang dapat diuji kebenarannya. 
------
Kung, Hans. “Does God Exist, An Answer for Today”. 1980. Doubleday and Company, Inc. Garden City, New York. Section III: Against rationalism for rationality. Page: 115 - 124

Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

Perhatian:

(Hak cipta terjemahan menjadi hak milik Illuminatoz, setiap pemanfaatan terjemahan baik sebagian maupun seluruhnya wajib menyertakan nama “Illuminatoz” dan link URL ke blog illuminatoz, http://workofmydarknezz.blogspot.com demikian pula sumber rujukan kepada Buku Prof. Hans Kung wajib disertakan, Terima kasih sudah menghargai hak cipta)

No comments:

Post a Comment