Friday, November 4, 2011

Essay Mengenai Perilaku Beragama, Kekerasan Beragama, dan Perdamaian Agama

 Source (https://www.eventbrite.com)

Menurut Koentjaraningrat, agama atau yang lebih netral beliau sebut sebagai religi (karena istilah ‘agama’ menurut beliau lebih khusus menunjuk kepada agama-agama yang diakui oleh pemerintah RI dipertentangkan dengan istilah ‘religi’ yang dapat mengacu kepada semua sistem keagamaan secara luas) seperti yang dijelaskan oleh E. Durkheim dalam bukunya Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse, religi merupakan gejala kebudayaan yang digetarkan oleh Emosi Keagamaan.

Emosi Keagamaan merupakan proses psikologis dan fisiologis yang terjadi ketika manusia merasakan “bertemu dengan Yang Suci” (meminjam istilah R. Otto, F. Heiler, G. Mensching). Sependapat dengan E. Durkheim mengenai empat komponen religi, Hans Kung menyebutkan bahwa religi merupakan sebuah lived life atau kehidupan yang dijalani sehingga religi bukan sekedar persoalan teoritis, sekedar persoalan masa lalu dan persoalan para peneliti arsip teks-teks suci sehingga, apa yang digambarkan oleh Koentjaraningrat mengenai interaksi dinamis antara keempat komponen suatu sistem religi merupakan religi yang dialami oleh setiap orang sebagai sesuatu yang kontemporer, berdenyut disetiap nadi eksistensi mereka sehari-hari. 

Sunday, October 16, 2011

Tuhan Tanpa Nama dalam Agama Buddha Bagian 5 (Habis)

Source (http://www.fwbo-news.org)

Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

Pertanyaan lebih jauh kini muncul berkenaan dengan yang Absolut, yang mana merupakan Ketiadaan Absolut namun bukan semata-mata tidak ada. Memang, pemahaman Kristen mengenai Sang Absolut bukanlah dalam berbagai “bentuk keberadaan” (existent), bukan pula sebagai “bentuk keberadaan yang tertinggi” (supreme existent). 

Jika demikian, mengapa kita tidak diijinkan untuk mengatakan bahwa Sang Absolut adalah Keberadaan Absolut (Absolute Being) atau Keberadaan itu sendiri? Dengan cara ini, kita tentunya tidak – sebagaimana yang dipikirkan oleh Nagarjuna – memberikan attribut kepada Absolut sifat yang datang menjadi dan berlalu, namun sebagai keberadaan yang murni, stabil, dan abadi. Penganut Buddha Jepang Masao Abe, dalam semangat Nishida, bersikeras, dihadapan Tillich, bahwa Tuhan harus dilihat bukan hanya melampaui esensi dan yang ada, personal dan impersonal, melainkan juga sebagai yang melampaui keberadaan dan bukan keberadaan. 

Tuhan Tanpa Nama dalam Agama Buddha Bagian 4


Kredit: http://resources.touropia.com


Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

3. Ketiadaan

Dalam filsafat kaum Buddha, bahkan istilah “ketiadaan/nothingness” tidak boleh dipahami dalam pengertian kaum nihilist, sebuah fakta yang membuat jelas masalah ini khususnya berasal dari Japanese Kyoto School yang dikepalai oleh Kitaro Nishida (1870-1945), yang seringkali disebut Bapak filosofi Jepang modern dan yang juga tergabung khususnya dalam penanggulangan sekularisasi modern dan ilmu pengetahuan, juga dengan ateisme dan nihilisme. 

Kyoto School mewakili usaha orang Jepang untuk mengembangkan sintesis antara filosofi Barat dan Timur. Dalam karyanya, Nishida berurusan dengan banyak sekali filsuf Barat: dengan Leibniz, Kant, Fichte dan Hegel, dan juga bersama Nicholas dari Cusa, Descartes, dan Spinoza. Dia menulis dengan gaya yang lebih meditatif dan evokatif dari pada jelas dan tepat. Filsafatnya memuncak pada konsep mengenai “Ketiadaan” yang absolut (Jepang, mu). 

Tuhan Tanpa Nama dalam Agama Buddha Bagian 3

Source (https://edoshonin.files.wordpress.com)

Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

2. Kekosongan

Istilah “kekosongan” (Sanskrit “sunyata”), sebagaimana biasanya digunakan untuk menyebut yang Absolut khususnya oleh filsuf yang berasal dari Selatan India Nagarjuna, pendiri sekolah Madhyamika, dan diadopsi secara besar-besaran oleh aliran Mahayana, juga oleh aliran Zen, tidak harus dipahami (sesuatu yang lebih dari nirwana) sebagai sebuah gagasan negatif belaka. Nagarjuna, dimasukkan oleh Karl Jaspers diantara karyanya “filsuf-filsuf besar”, tetapi secara khusus pada pendirian agama Buddha – setia mengikuti Buddha dan sebagai sesuatu yang berlawan dengan Hinduisme – mempertahankan “jalan tengah” (= Madhyamika) tidak hanya antara hedonisme ekstrim dan aksetisme ekstrim melainkan pula antara penegasan dan peniadaan. Hanya melalui jalan “kekosongan” lah – dengan menanggalkan motif-motif khusus, pendirian, kategori – manusia dapat meraih nirwana.

Tuhan Tanpa Nama dalam Agama Buddha Bagian 2

 Source (https://i.ytimg.com)

Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

1. Nirwana

Apakah keliru bahwa Buddhisme seringkali digambarkan tidak hanya bersifat ateistik bahkan juga bersifat nihilistik? Namun, apakah pengertian “nirwana” itu? Nirwana berarti (berasal dari akar kata Sanskrit va = “padam”/“blow out”) menjadi “terhembus”, “terpadamkan”, kedalam sebuah ketenangan abadi, tanpa hasrat, tanpa penderitaan, tanpa kesadaran – sebagaimana lilin menyala yang padam atau seperti tetesan air yang menyatu di samudera. Siapa saja yang tidak mengatasi keinginannya akan hal-hal duniawi selama dia hidup saat ini akan menghukum dirinya kepada kelahiran kembali (transmigrasi) setelah mati. Sebaliknya, seseorang yang mengatasi keinginannya akan hal-hal duniawi dan mendapat pencerahan, sehingga mencapai penyusutan hasrat dan kondisi ketenangan mental, mungkin akan mengalami nirwana – walaupun belum sepenuhnya – pada masa hidupnya.

Tuhan Tanpa Nama dalam Agama Buddha Bagian 1

 Source (http://cdn3.gbtimes.com)

Diterjemahkan oleh: Illuminatoz

Buddhisme

Buddhisme nampaknya mengambil posisi yang sangat berlawan dengan pemahaman Kristen mengenai Tuhan. Buddhisme telah menunjukkan kekuatan yang besar selama beberapa abad belakangan ini: bukan hanya karena kemampuannya bertahan dalam dunia yang semakin sekuler dan kemampuannya beradaptasi dengan perkembangan sosiologis tetapi juga daya tarik yang sangat kuat untuk menelaah ajaran Buddha bahkan sampai hari ini tetap menarik minat para intelektual Barat untuk menelaahnya (kita barangkali ingat dengan ketertarikan Schopenhauer dan kita dapat melihat kesejajarannya dalam Heidegger). 

Saturday, October 15, 2011

Menumpahkan Isi Pikiran

 Sumber (http://ideas.evite.com/)

Tidak tahu ingin menulis apa hari ini. Sebenarnya sih, aku sudah punya rencana ingin berbagi sesuatu kepada pembaca sekalian, tetapi belum aku persiapkan. Aku juga agak malu kalo blog ini tidak terisi sesuatu. Padahal tujuan awalnya agar aku bisa share hidup dan karyaku kepada orang lain.

Well, hari ini aku mau share tentang apa yang aku alami akhir-akhir ini. Tidak ada yang spesial sih, kegiatanku biasa-biasa saja tidak ada yang istimewa. Tampaknya aku senang sekali berdiskusi di facebook khususnya mengenai hal-hal yang berbau agama dan filsafat. Aku memang senang hal-hal seperti itu. Karena pikiranku penuh rasa ingin tahu akan hal-hal yang misterius. Aku juga suka teori konspirasi populer yang ada di masyarakat.

Tapi walaupun aku suka yang demikian, aku tidak membiarkan diriku larut lantas percaya membabi buta. Hanya sekedar bacaan ringan saja (biasanya bacaan ringan itu komik dan sejenisnya). Memang sih pusing sedikit juga hahaha...

Mungkin dilain waktu aku akan share pandangan hidupku. Sekarang aku ingin cerita saja tentang acara ulang tahun yang brutal kemarin malam yang terjadi disalah satu rumah kawan.

Ceritanya begini...

Friday, July 15, 2011

Hubungan antara Ilmu Pengetahuan Modern (Modern Science) dan Agama (Theology) Bag. 4 (Habis)

Source (http://images.christianpost.com)

Ilmu pengetahuan dan pertanyaan mengenai Tuhan

Mungkinkan ilmu pengetahuan modern meninggalkan Tuhan?
  • Jika ilmu pengetahuan modern ingin bekerja dengan metode yang tanpa cacat cela, sangat penting agar ilmu pengetahuan modern meninggalkan Tuhan, karena Dia tidak bisa diverifikasi dan dianalisa secara empiris seperti objek-objek yang lain.
  • Tepat sekali, karena subjek dan objek, metode dan tujuan dari ilmu pengetahuan secara dekat saling jalin-menjalin, maka pembedaan harus dibuat antara fenomena yang dapat ditangkap oleh ilmu pengetahuan alam dan realitas itu sendiri.

Hubungan antara Ilmu Pengetahuan Modern (Modern Science) dan Agama (Theology) Bag. 3


Alfonso X "The Wise" and his court
Source (http://usercontent2.hubimg.com/5543191_f520.jpg)

Hubungan teologi kepada ilmu pengetahuan alam

Ilmu pengetahuan alam berusaha untuk mengembangkan pengetahuan mereka dengan merujuk kepada kepastian matematika. Apakah tidak ada batasan bagi ilmu pengetahuan alam?
  • Riset pasti (exact), mulai dari fisika atom sampai astrofisika, mulai dari mikrobiologi sampai genetika dan kedokteran, dapat diikuti sampai kepada titik dimana kemungkinan terbesar kepastian matematika dicapai. Ilmu pengetahuan berdasarkan matematika, kemudian, memiliki pembenaran yang lengkap, otonominya sendiri dan hukum-hukum yang inherent, yang mana tak satu teolog atau orang beragama pun yang boleh mempermasalahkannya dengan cara menariknya ke otoritas yang lebih besar (misalnya, Tuhan, kitab Suci, Organisasi Keagamaan, pemimpin agama, dsb).

Hubungan antara Ilmu Pengetahuan Modern (Modern Science) dan Agama (Theology) Bag. 2

Source (http://i.dailymail.co.uk)

Ilmu Pengetahuan Modern

Manusia telah belajar menggunakan akalnya jauh melampaui wilayah yang luas. Namun, apakah manusia hanya hidup dengan akalnya saja?
  • Ini berlaku benar secara prinsip dan menurut sejarah bahwa penting bagi manusia, dipengaruhi oleh keraguan, untuk belajar memanfaatkan akalnya dengan lebih baik, dengan dipimpin oleh ilmu pengetahuan untuk menyelidiki alam dan hukum-hukumnya tanpa prasangka, sebagaimana pada akhirnya mampu menyelidiki dirinya sendiri dan kondisi sosiologis dalam semua aspeknya.

Hubungan antara Ilmu Pengetahuan Modern (Modern Science) dan Agama (Theology) Bag. 1

Source (https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/51/Studying_astronomy_and_geometry.jpg)

Tak pelak lagi, perubahan dalam cara pandang dunia tidak hanya menimbulkan kesulitan besar bagi filosifi dan teologi tetapi juga menimbulkan kesulitan bagi ilmu pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan ilmiah tidaklah mampu – berlaku juga bagi filosofi dan teologi – untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang ada sendirian. 
Lebih dari pada masa sebelumnya, ketiganya saling bergantung dalam kolaborasi yang saling menguntungkan. Kini lebih dari kapanpun – setelah begitu banyak tuduhan yang diluruskan dan begitu banyak kesalahpahaman dari kedua belah pihak yang ditanggalkan – kolaborasi yang demikian akan sangat memungkinkan dan berguna. Sehingga kita tidak lagi membutuhkan permusuhan